Berawal dari permintaan tolong saya kepada suami agar mendampingi saya penyampaian materi pengajaran melalui sinergi blog, dan sosial media. Obrolan yang kemudian berubah menjadi bumbu penyedap mie ayam yang kami nikmati di teras. “Pak, Hari Senin nanti sudah mulai masuk. Tapi pembelajarannya dilakukan secara daring. Diewangi ya,” kata saya kepada suami.
Sekitar 3 tahun silam, jauh sebelum pageblug korona, ia pernah berkata kepada saya bahwa, jangan sampai pengalamannya terulang dan saya alami. Media cetak yang digulung oleh media online, wartel yang dilibas warnet, dan warmet yang digilas smartphone.
“Pak, nanti saya dibantu lagi ya mengelola blognya yang dulu”, kata saya. Blog tersebut adalah blog yang pernah kalah saat maju di perlombaan Inobel. Perlombaan yang saat itu digelar jauh hari sebelum ada kesadaran pentingnya model pembelajaran daring. Jauh hari sebelum marak diselenggarakan seminar-seminar pembelajaran daring seperti yang saat ini terjadi. Bahkan sekarang perusahaan penyedia perangkat lunak kelas kakap microxxxx juga tergiur menangguk laba dari pembelajaran daring. Menangkap peluang ternyata setara dengan kelihaian memancing di kolam keruh.
“Bikin blog, dan mengelolanya itu mudah. Tapi yang sulit itu membentuk sistemnya. Sistem yang yang menyangkut guru, siswa, dan orangtua siswa. Hal itu terkait dengan pembentukan mindset / pola pikir. Dari yang berpola pikir offline menjadi online. Banyak bukti kok yang menunjukkan tenaga pengajar belum siap punya pola pikir online. Tuh, di grup yang kamu ikuti yang di dalamnya juga banyak tenaga pengajar. Ketika ada wacana pembelajaran daring pasti langsung dibanjiri komentar penolakan. Enggak efektif, jelek, dll,” kata suami saya yang gemar berkebun.
“Yen aku dadi guru, saya kok ,menghindari komen antipati seperti itu. Terutama yang bilang “jelek”. Saya lebih memilih diam, mencoba, mempelajari dan membuktikan. Guru itu kaum intelektual. Sebaiknya ngintelek, open minded. Yen wis ngomong elek, ora isa dan sugesti negatif lain, pastilah gerbang analisa di otak tertutup. Sing sinau iku orang mung murid, tapi guru juga harus selalu belajar seumur hidup. Tubuh saja harus selalu diupdate dengan antivirus / vaksin baru. Otak pun demikian harus selalu diupdate dengan ilmu pengetahuan baru. Agar tidak digulung oleh perubahan alam dan zaman. Pageblug saja bikin repot, apalagi pagemblung,” katanya.
Lebih jauh lagi ia berkata. “Pembelajaran, pengajaran, karo pendidikan iku beda. Mungkin kamu sudah mengetahuinya. Nek menurutku, pembelajaran dan pengajaran itu masih bisa dilakukan efektif secara daring. Ning yen soal pendidikan kok ketoke angel. Sebab pendidikan itu menyangkut nilai-nilai yang cara penyampaiannya lebih efektif jika disampaikan secara langsung, yaitu melalui keteladanan. Namun, sebaiknya soal pendidikan enggak perlu dibahas lah. Lha wong mata pelajaran etika dan budi pekerti saja sekarang sudah dihapus. Jadi menurut saya, sekolah saat ini lebih tepat disebut sebagai lembaga pembelajaran dan pengajaran, bukan pendidikan. Lembaga pendidikan ya Keluarga”.
Nah sing dimaksut pembelajaran itu ya menyangkut emosi. Cara penyampaian materinya harus bisa mempengaruhi emosi peserta didik. Kalau hanya sekadar penyajikan materi di blog lalu siswa hanya disuruh baca, tanpa sentuhan emosi itu bukan pembelajaran daring. Melainkan pengajaran daring. Meskipun tidak secara daring dan dilakukan di sekolah, namun jika materi disampaikan secara tak menarik. Hanya satu arah, tak menyentuh emosi, itu sama saja pengajaran bukan pembelajaran. Ana lho, guru sing kaya ngono kuwi. Okeh ra yo?
Lantas apakah bisa mempengarugi emosi siswa lewat daring? Bisa, baca novel saja kamu bisa nangis, lihat sinetron saja banyak yang ikut gregetan, bahkan banyak yang menirunya kok. Gaya berbicara, model dandanan, intrik-intrik busuk yang ditiru, konsumerisme, dan hedonisme (budaya pop). Proses mengasah emosi dalam pembelajaran daring kemudian akan memunculkan ketertarikan, lalu berkembang menjadi keterikatan, dan pada akhirnya membentuk sebuah sistem. Contoh pembelajaran daring dulu pernah kamu kalukan. Yaitu dalam mata pelajaran PKn. Saat itu kamu meminta siswa masing-masing membawa 2 bungkus makanan. Satu bungkus untuk ditukar sesama siswa, kemudian 1 bungkus yang lain dikumpulkan. Saat pulang sekolah, makanan itu dibagikan kepada orang tak mampu di sekitar sekolah. Siswa diminta melaporkan dalam bentuk video dan foto kegiatan tersebut.
Contoh lain, pengamatan ekosistem dalam mata pelajaran IPA yang dilakukan secara daring. Di luar sekolah siswa memilih ekosistem yang ada di sekitar rumahnya. Diminta mengamati, benda dan mahluk hidup apa saja yang ada disitu. Kemudian melaporkan dengan video dan foto. Dibahas bersama secara daring. Yang muncul bukanlah konsep-konsep tekstual yang sifatnya menghafal semata. Melainkan curahan isi hati dan kegembiraan mereka selama melakukan eksplorasi. Menurut saya, itulah yang disebut pembelajaran. Prestasi angka mungkin belum diperoleh saat itu. Namun kegembiraan akan menjebak siswa kedalam lingkaran setan kegilaan belajar. Dan suatu saat pada usia yang tepat, prestasinya akan meledak. Ada yang bilang itilah model pembelajaran Kuantum (Quantum Learning). Guru memberi penilaian, dilanjutkan laporan hasil pembelajaran kepada orang tua siswa yang dilakukan secara daring juga. Ortu kemudian akan memberikan tanggapan kepada guru juga via daring.
Dalam kegiatan tersebut terjadi kontrol nyata antara guru dengan ortu. Ndak yo saiki isih okeh sekolahan/guru sing menerapkan hal seperti itu? Paling-paling konsultasi saat terima rapor. Nek pembelajaran daring yang kamu lakukan kan setiap evaluasi dalam setiap pokok bahasan dan setiap mata pelajaran. Melalui model pembelajaran seperti ini, ortu juga dipaksa mengikuti pelajaran anaknya, sinau bareng anake, nyinaoni anake, perkembangan belajarnya juga. Enggak cuma saat terima rapor saja. Menurutku wis kasep bin terlambat yen mung pas tampa rapor.
Kegiatan itu terbukti efektif. Siswa meminta tugas-tugas yang lain juga dilakukan seperti itu. Banyak ortu yang juga memberi tanggapan positif. Meski ada ortu yang memberi tanggapan sing ngabangne kuping, “Video-video opoooo…. T41”, kata salah satu orangtua siswa.
Selfie itu sudah menjadi kebutuhan anak muda. Daripada selfie-selfienan yang nggak bermanfaat lebih baik untuk sesuatu yang positif dan memberi nilai tambah diri. Daripada selfie-selfienan ora karuan koyo nom-noman ning pinggir Lapangan Cangaan Wetan saben sore kae lho. Soyo bengi lanang wedok sarimbit soyo seronok. Esuke okeh botol air mineral ro bungkus komix.
Pembelajaran daring itu menyangkut edukasi kepada siswa, edukasi kepada ortu, dan edukasi antar sesama tenaga pengajar. Edukasi memanfaatkan teknologi secara bijak. Butuh kemauan, kerendah hatian, dan kerelaan belajar. Sebelum pola pikir daring terbentuk, hasilnya ya hanya antipati, hujat-hujatan, keluh-kesah, angel, jian ora mutu, dkk. Nasibnya mirip seperti Kurtilas dan pendidikan karakter yang selalu rajin dihujat dan dibuli. Arep opo wae, sing paling penting iku manungsane.
Proses yang tak sebentar. Butuh konsisten.
